Selamat Datang di Tong Sampah

Bacalah Sebelum Coretan ini dihinggapi lalat

Sabtu, 02 Juni 2012


MAKHLUK ASING MIRIP PELACUR


            Kala mentari tengah gagah memancarkan sinarnya tepat sejengkal atas kepala. Dengan nafas terengah-engah berjalan setengah lari, lelaki tengah baya mendatangi sebuah bangunan asing. Antrean orang-orang berada di depan loket ia abaikan. Bangunan  yang dihuni puluhan hingga ratusan makhluk-makhluk asing bertubuh tinggi besar, dan berperut buncit itu tengah sibuk menerapkan slogan-slogannya. Lelaki tengah baya penuh peluh mengkilat menetes di atas kedua alisnya yang sudah memutih. Kerutan di atas sepasang alisnya tampak seperti kilatan cahaya yang meluncur kebawah. Dia lah pahlawanku.
(Si buncit)

Dengan bahasa seadanya lelaki tengah baya menceritakan sekilas keadaanku kepada salah satu makhluk bertubuh tinggi besar dan berperut buncit itu. Antara percaya dan tidak percaya, akhirnya dua makhluk asing mendatangi tempat dimana aku berada.

Aku tergeletak tak berdaya. Berbantalkan kerikil liar jalanan. Menusuk-nusuk tapi tak ku pedulikan. Aku merasa seperti bandeng presto, lunglai kurasa saat itu. Tulang-tulangku tak lagi kuat menopang daging dan kulitku. Sementara kucuran dan bau amis darah menodai diriku. Terkapar di tengah jalan serasa sedang berjemur di atas wajan. Lelaki tengah baya itulah pahlawanku. Sementara yang lain hanya menatapiku sembari menutupi hampir seluruh tubuhku dengan koran bekas dan daun pisang, saling tanya jawab satu sama lain tentang asal mula kenapa aku bisa seperti ini layaknya wartawan. Orang-orang tolol itu mengira aku sudah tewas. Mirip seperti pepes bandeng presto dengan saus merah super pedas yang siap santap.

Lelaki tengah baya itulah malaikatku. Terakhir kulihat ia tengah mengayuh becak di belakangku. Dengan wajah sedikit murung, mungkin karena jok becaknya tak terisi. Mungkin juga cacing-cacing dalam perutnya belum mendapat asupan sedikitpun siang itu. Setelah mobil mewah berplat merah keluaran terbaru menyetubuhi seluruh pori-pori kulitku, seketika itu pula kilatan seperti petir menghiasi kasat mata. Lalu semuanya menjadi gelap. Anganku bebas melayang. Aneh kurasa, seakan-akan aku melihat diriku sendiri. Setengah jongkok di sisi bandeng presto, berusaha membangunkan tubuhku yang berselimut koran bekas dan daun pisang. Berteriak meminta tolong pada orang sekitar, tak ada yang mendengar hingga suaraku habis. Berusaha mengangkat tubuhku, tapi tak bisa. Aku hanya menangis, tak keluar air mata.

Sepeda jepang berhiasan karat alami yang ku kayuh tampak nyata seperti rongsokan. Terdampar di tepian jalan tak terurus, begitu pula majikannya. Roda berubah bentuk menjadi angka 8, tepung pesanan ibuku juga menghiasi jalanan nan panas itu. Kulihat semuanya dibalik tutupan koran yang menutupi kepalaku setengah sadar dan tidak sadar, setengah mati serasa hampir mati.

Imutnya
Ditandunya tubuhku dengan penuh kehati-hatian oleh lelaki tengah baya ke sebuah mobil pick-up. Bajunya yang cukup kumuh bertambah kumuh lagi karena terkena darah segar yang melumuriku. Aku berterima kasih dan memeluk lelaki tengah baya itu, tapi tak bisa. Pelukanku menembus badan renta lelaki tengah baya itu. Tak bisa menjabat tangannya. Ucapan terima kasihku pun tak ditanggap olehnya, padahal aku mengucap dekat dengan telinga lelaki tengah baya itu. Tak ku sadari ternyata aku dapat melihat tubuhku bersimbah darah yang berbaring di bak sebuah mobil, sedangkan aku masih berdiri tegap melihat tubuhku yang mirip bandeng presto itu. Sementara aku hanya bisa menangis menemani tubuhku sendiri yang tergeletak bagai pepes bandeng presto dengan saus merah super pedas yang siap santap.

Menikmati suasana misterius bag menjadi malaikat tak bersayap, mendekati kawanan burung gereja yang mengiringi tubuhku sepertinya kita telah akrab. Mereka tak berusaha kabur ketika aku berusaha menjadi kawanannya. Indah kurasa saat-saat misterius itu. Dapat mengakrabi kawanan burung tanpa mereka berkeinginan untuk terbang menjauh dariku. Tetapi jauh dari jiwa yang terdalam, aku takut. Aku takut jika benar-benar malaikat utusan Pencipta menjemputku saat itu juga. Aku belum siap. Aku masih harus mengantarkan tepung kepada ibuku, aku juga harus mengasihkan uang kembaliannya, agar esok beliau dapat berjualan kembali.

Tak merasa sakit, tetapi tak mampu menggerakkan seluruh tubuh. Kebingungan melanda ketika seisi ruangan tampak putih bersih bersinar. Kelopak mataku bagai barbel, berat untuk kubuka. “Apakah ini surga?”. Dalam hati ku ucapkan kata-kata itu berkali-kali. Namun jelas sudah pertanyaan itu terjawab, ketika tampak kedua orang tuaku duduk berlumur air mata menghiasi wajahnya, entah menangis karena sedih atau risau memikirkan biaya penyembuhanku. Kudapati dua makhluk asing bertubuh tinggi, besar, berperut buncit sedang berbincang dengan bapak ibuku. Seperti malaikat, tapi tak bersayap hanya berseragam. “Mungkin juga alien, ahhhh alien tak mungkin memakai rompi hijau”, pikirku konyol.

Hati-hati polisi tidur :)
Tak tau bagaimana aku harus berterima kasih kepada tukang becak tengah baya berhati malaikat itu. Kalau bukan karenanya, pasti aku sudah berlarian bebas diantara dua pintu yang dijaga oleh malaikat yang benar-benar malaikat. Mungkin juga akan kutunggu lelaki tengah baya itu di pintu surga. Kusapa dia, kupeluk dia, serta akan kujadikan saudara di akherat kelak.

Dengan apa orang tuaku membayar biaya semahal itu?. Rumah beserta isinya pun masih kurang. Apalagi bapakku yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan, ibuku hanya sebagai penjual gorengan keliling. Sedangkan aku cuma bangkai. Lantas siapa yang akan membayar biaya rumah sakitku, orang yang menabrakku sampai satu bulan ini belum ketemu.

Dengan alasan tak ada saksi yang melihat pas kejadian, juga tak ada yang tahu pula berapa nomor kendaraan, wajah sedih bercampur marah menghiasi bapak sehabis beliau mendatangi bangunan bersemboyan yang dihuni makhluk-makhluk asing bertubuh tinggi, besar, dan berperut buncit. 
Harapan hari itu sirna.

Hari berikutnya, bapakku yang rela tak bekerja demi mendapatkan pertanggung jawaban dari pengemudi mobil yang menggilasku kembali mendatangi bangunan bersemboyan itu. Jawaban sangat pahit kembali terdengar dari makhluk bertubuh tinggi, besar. Wajah layu kembali tampak menghiasi wajah bapakku.

Seperti fatamorgana yang berusaha menutupi ujung tebing terjal. Mungkin makhluk asing bertubuh tinggi, besar, dan berperut buncit itu adalah korban dari kejamnya fatamorgana. Tapi apa boleh buat, memang itulah kenyataannya. Penjahat tingkat dewa pasti terlindung oleh utusan-utusan dewa. Wajar saja makhluk asing itu berperut buncit, mungkin terlalu sering menelan dewanya-dewa mentah-mentah.

Berharap dapat keringanan berkat JPS, ternyata tak semulus yang dibayangkan. Begitu keras perjuangan bapak kesana kemari mengurus JPS. Tapi apa daya, nihil hasilnya. Karena bapak tak tamat SD, sehingga mengalami kendala baca tulis. Aku tak tahu harus berbuat apa. Semakin pilu ketika menatap ibu yang terus menerus menangis melihat keadaanku yang semakin membangkai tak beraroma.
(Plat belakangnya hallow...)
“Sabar nak, pasti ada hikmah dibalik musibah ini”, serasa merinding berlumur sedih ketika mendengar kata-kata itu terucap. "Apa mungkin orang melarat seperti kita harusnya dibiarkan mati terkapar saja". Sertifikat dan barang berharga pun lenyap demi membawa pulang tubuh malangku keluar dari rumah sakit.

Beberapa waktu kemudian, istri tetangga yang seorang pejabat juga menjadi korban tabrak lari. Kejanggalan pun muncul ketika begitu cepat aparat menangkap si pelaku. Aneh benar makhluk-makhluk yang kusebut bertubuh tinggi, besar, dan berperut buncit. Berbeda status sosial ternyata berbeda juga penanganannya. Berbalut iri dan emosi semakin menjadi-jadi. Ada apa dengan semua ini. Memang seharusnya aku mati saja kala itu. Dari pada seperti ini, aku hanya   berbalut iri serta sangat bernafsu untuk membunuh semua makhluk asing itu lenyap dari bumi khatulistiwa ini.

Saat angggota tubuhku yang sekian lama tampak mati, kini sudah dapat digerakkan sedikit demi sedikit. Nafas amarah menghiasiku tiap menatap makhluk-makhluk asing bertubuh tinggi, besar, dan berperut buncit. Berlatih jalan selangkah demi selangkah sambil mengamati tingkah laku kupu-kupu malam yang tengah menanti pelanggan. Tak jauh dari tempat tinggalku. Ia pasti melayani jikalau pelanggan tlah memberi berlembar-lembar rupiah. Wajah berseri berkeringat puas pasti tampak dari pelanggan yang telah bertempur dengannya. Aku tertawa miris melihat aktivitas itu. Kepada siapa kuhempaskan amarah ini....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar