MAKHLUK ASING MIRIP PELACUR
Kala
mentari tengah gagah memancarkan sinarnya tepat sejengkal atas kepala. Dengan nafas
terengah-engah berjalan setengah lari, lelaki tengah baya mendatangi sebuah
bangunan asing. Antrean orang-orang berada di depan loket ia abaikan.
Bangunan yang dihuni puluhan hingga
ratusan makhluk-makhluk asing bertubuh tinggi besar, dan berperut
buncit itu tengah sibuk menerapkan slogan-slogannya. Lelaki tengah baya penuh
peluh mengkilat menetes di atas kedua alisnya yang sudah memutih. Kerutan di
atas sepasang alisnya tampak seperti kilatan cahaya yang meluncur kebawah. Dia
lah pahlawanku.
Dengan
bahasa seadanya lelaki tengah baya menceritakan sekilas keadaanku kepada salah
satu makhluk bertubuh tinggi besar dan berperut buncit itu. Antara percaya dan
tidak percaya, akhirnya dua makhluk asing mendatangi tempat dimana aku berada.
Aku
tergeletak tak berdaya. Berbantalkan kerikil liar jalanan. Menusuk-nusuk tapi
tak ku pedulikan. Aku merasa seperti bandeng presto, lunglai kurasa saat itu.
Tulang-tulangku tak lagi kuat menopang daging dan kulitku. Sementara kucuran
dan bau amis darah menodai diriku. Terkapar di tengah jalan serasa sedang
berjemur di atas wajan. Lelaki tengah baya itulah pahlawanku. Sementara yang
lain hanya menatapiku sembari menutupi hampir seluruh tubuhku dengan koran
bekas dan daun pisang, saling tanya jawab satu sama lain tentang asal
mula kenapa aku bisa seperti ini layaknya wartawan. Orang-orang tolol itu
mengira aku sudah tewas. Mirip seperti pepes bandeng presto dengan saus merah
super pedas yang siap santap.
Lelaki
tengah baya itulah malaikatku. Terakhir kulihat ia tengah mengayuh becak di
belakangku. Dengan wajah sedikit murung, mungkin karena jok becaknya tak
terisi. Mungkin juga cacing-cacing dalam perutnya belum mendapat asupan
sedikitpun siang itu. Setelah mobil mewah berplat merah keluaran terbaru
menyetubuhi seluruh pori-pori kulitku, seketika itu pula kilatan seperti petir
menghiasi kasat mata. Lalu semuanya menjadi gelap. Anganku bebas melayang. Aneh
kurasa, seakan-akan aku melihat diriku sendiri. Setengah jongkok di sisi
bandeng presto, berusaha membangunkan tubuhku yang berselimut koran bekas dan
daun pisang. Berteriak meminta tolong pada orang sekitar, tak ada yang
mendengar hingga suaraku habis. Berusaha mengangkat tubuhku, tapi tak bisa. Aku
hanya menangis, tak keluar air mata.
Sepeda
jepang berhiasan karat alami yang ku kayuh tampak nyata seperti rongsokan.
Terdampar di tepian jalan tak terurus, begitu pula majikannya. Roda berubah
bentuk menjadi angka 8, tepung pesanan ibuku juga menghiasi jalanan nan panas
itu. Kulihat semuanya dibalik tutupan koran yang menutupi kepalaku setengah
sadar dan tidak sadar, setengah mati serasa hampir mati.
![]() |
| Imutnya |
Ditandunya
tubuhku dengan penuh kehati-hatian oleh lelaki tengah baya ke sebuah mobil
pick-up. Bajunya yang cukup kumuh bertambah kumuh lagi karena terkena darah
segar yang melumuriku. Aku berterima kasih dan memeluk lelaki tengah baya itu,
tapi tak bisa. Pelukanku menembus badan renta lelaki tengah baya itu. Tak bisa
menjabat tangannya. Ucapan terima kasihku pun tak ditanggap olehnya, padahal
aku mengucap dekat dengan telinga lelaki tengah baya itu. Tak ku sadari
ternyata aku dapat melihat tubuhku bersimbah darah yang berbaring di bak sebuah
mobil, sedangkan aku masih berdiri tegap melihat tubuhku yang mirip bandeng
presto itu. Sementara aku hanya bisa menangis menemani tubuhku sendiri yang
tergeletak bagai pepes bandeng presto dengan saus merah super pedas yang siap
santap.
Menikmati
suasana misterius bag menjadi malaikat tak bersayap, mendekati kawanan burung
gereja yang mengiringi tubuhku sepertinya kita telah akrab. Mereka tak berusaha
kabur ketika aku berusaha menjadi kawanannya. Indah kurasa saat-saat misterius
itu. Dapat mengakrabi kawanan burung tanpa mereka berkeinginan untuk terbang
menjauh dariku. Tetapi jauh dari jiwa yang terdalam, aku takut. Aku takut jika
benar-benar malaikat utusan Pencipta menjemputku saat itu juga. Aku belum siap. Aku masih harus
mengantarkan tepung kepada ibuku, aku juga harus mengasihkan uang kembaliannya,
agar esok beliau dapat berjualan kembali.
Tak
merasa sakit, tetapi tak mampu menggerakkan seluruh tubuh. Kebingungan melanda
ketika seisi ruangan tampak putih bersih bersinar. Kelopak mataku bagai barbel, berat untuk kubuka. “Apakah ini surga?”. Dalam hati ku ucapkan
kata-kata itu berkali-kali. Namun jelas sudah pertanyaan itu terjawab, ketika
tampak kedua orang tuaku duduk berlumur air mata menghiasi wajahnya, entah
menangis karena sedih atau risau memikirkan biaya penyembuhanku. Kudapati dua makhluk asing bertubuh tinggi, besar, berperut buncit sedang berbincang
dengan bapak ibuku. Seperti malaikat, tapi tak bersayap hanya berseragam.
“Mungkin juga alien, ahhhh alien tak mungkin memakai rompi hijau”, pikirku konyol.
![]() |
| Hati-hati polisi tidur :) |
Tak
tau bagaimana aku harus berterima kasih kepada tukang becak tengah baya berhati malaikat itu. Kalau bukan karenanya, pasti aku sudah berlarian bebas diantara
dua pintu yang dijaga oleh malaikat yang benar-benar malaikat. Mungkin juga
akan kutunggu lelaki tengah baya itu di pintu surga. Kusapa dia, kupeluk dia,
serta akan kujadikan saudara di akherat kelak.
Dengan
apa orang tuaku membayar biaya semahal itu?. Rumah beserta isinya pun masih
kurang. Apalagi bapakku yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan, ibuku hanya
sebagai penjual gorengan keliling. Sedangkan aku cuma bangkai. Lantas siapa
yang akan membayar biaya rumah sakitku, orang yang menabrakku sampai satu bulan
ini belum ketemu.
Dengan
alasan tak ada saksi yang melihat pas kejadian, juga tak ada yang tahu pula
berapa nomor kendaraan, wajah sedih bercampur marah menghiasi bapak sehabis
beliau mendatangi bangunan bersemboyan yang dihuni makhluk-makhluk asing
bertubuh tinggi, besar, dan berperut buncit.
Harapan hari itu sirna.
Hari
berikutnya, bapakku yang rela tak bekerja demi mendapatkan pertanggung jawaban
dari pengemudi mobil yang menggilasku kembali mendatangi bangunan bersemboyan
itu. Jawaban sangat pahit kembali terdengar dari makhluk bertubuh tinggi,
besar. Wajah layu kembali tampak menghiasi wajah bapakku.
Seperti
fatamorgana yang berusaha menutupi ujung tebing terjal. Mungkin makhluk asing
bertubuh tinggi, besar, dan berperut buncit itu adalah korban dari kejamnya
fatamorgana. Tapi apa boleh buat, memang itulah kenyataannya. Penjahat tingkat
dewa pasti terlindung oleh utusan-utusan dewa. Wajar saja makhluk asing itu
berperut buncit, mungkin terlalu sering menelan dewanya-dewa mentah-mentah.
Berharap dapat keringanan berkat JPS, ternyata tak semulus yang dibayangkan. Begitu
keras perjuangan bapak kesana kemari mengurus JPS. Tapi apa daya, nihil
hasilnya. Karena bapak tak tamat SD, sehingga mengalami kendala baca tulis.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Semakin pilu ketika menatap ibu yang terus
menerus menangis melihat keadaanku yang semakin membangkai tak beraroma.
![]() |
| (Plat belakangnya hallow...) |
Beberapa
waktu kemudian, istri tetangga yang seorang pejabat juga menjadi korban tabrak
lari. Kejanggalan pun muncul ketika begitu cepat aparat menangkap si pelaku.
Aneh benar makhluk-makhluk yang kusebut bertubuh tinggi, besar, dan berperut
buncit. Berbeda status sosial ternyata berbeda juga penanganannya. Berbalut iri
dan emosi semakin menjadi-jadi. Ada apa dengan semua ini. Memang seharusnya
aku mati saja kala itu. Dari pada seperti ini, aku hanya berbalut iri serta sangat
bernafsu untuk membunuh semua makhluk asing itu lenyap dari bumi khatulistiwa
ini.
Saat
angggota tubuhku yang sekian lama tampak mati, kini sudah dapat digerakkan
sedikit demi sedikit. Nafas amarah menghiasiku tiap menatap makhluk-makhluk asing
bertubuh tinggi, besar, dan berperut buncit. Berlatih jalan selangkah demi
selangkah sambil mengamati tingkah laku kupu-kupu malam yang tengah menanti
pelanggan. Tak jauh dari tempat tinggalku. Ia pasti melayani jikalau pelanggan
tlah memberi berlembar-lembar rupiah. Wajah berseri berkeringat puas pasti
tampak dari pelanggan yang telah bertempur dengannya. Aku tertawa miris melihat
aktivitas itu. Kepada siapa kuhempaskan amarah ini....



