![]() |
| Bastard |
Seperti suasana dikala
tumbangnya rezim orde baru terulang kembali akhir maret kemarin. Dimana ribuan
mahasiswa, ormas, dan berbagaimacam kelompok masyarakat turun ke jalan demi
menyampaikan aspirasi mereka. Yaitu menuntut agar pemerintah tidak menaikkan
harga Bahan Bakar Minyak bersubsidi atau yang akrab disebut BBM pada tanggal 1
april 2012. Dari ujung Sabang sampai merauke ribuan masa berdemonstrasi
menuntut kebijakan pemerintah tersebut. Yang kini hasilnya cukup memuaskan, 1
april 2012 harga BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikkan, tetapi selama enam
bulan kedepan harga BBM tersebut mengikuti harga minyak mentah dunia. Jika
harga minyak mentah dunia mengalami kenaikkan sebesar 15%, maka harga BBM
bersubsidi tak dapat dipungkiri juga akan naik. Pernyataan tersebut adalah
hasil dari sidang paripurna tanggal 30 maret 2012 yang penuh kericuhan ketika
sidang berlangsung, sama halnya dengan begitu ricuhnya demonstrasi masa yang
ada di luar gedung DPR.
Pertempuran antara mahasiswa maupun ormas-ormas dengan
aparat kepolisian merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Berjatuhan
korbanpun terlihat wajib, baik dari kubu mahasiswa maupun aparat. Aparat yang
bersemboyankan melindungi dan mengayomi masyarakat kini seperti terlihat memang
sekedar semboyan belaka. Dapat kita lihat dari tindakan represif aparat kita
ketika menangani demonstrasi. Banyak bukti otentik bahwa aparat kita ternyata
hampir sama dengan preman maupun gengster yang beberapa waktu kemarin juga
menjadi topik perbincangan di berbagai media masa. “Jangan main hakim sendiri”,
begitulah ucapan-ucapan aparat ketika mendapati seorang pencuri yang tertangkap
oleh warga.
Lucunya jika ucapan yang sarat akan kewibawaan itu
ternyata dilakukan sendiri oleh anggotanya ketika menangani berbagai
demonstran. Lantas, siapa lagi yang akan mengucapkan “Jangan main hakim
sendiri”?.
Menyeret salah satu demonstran yang dianggap sebagai
propokator, yang kemudian manjadikan orang tersebut seperti layaknya maling
yang tertangkap oleh warga. Padahal belum tentu salah seorang yang sudah
menjadi babak belur itu sebagai propokator. Terus bagaimana jika tindakan
tersebut dilakukan sebaliknya oleh kubu demonstran?, pasti pelakunya akan
dikenai hukuman yang cukup berat. Keadaan tersebut menjadikan masyarakat
penonton berita kebingungan untuk mengetahui yang mana demonstran dan yang mana
polisi, karena kedua kelompok tersebut terlihat sama-sama anarkisnya. Hanya
saja yang satu berpakaian seragam lengkap dengan senjata-senjata ditangan
maupun dengan tameng-tameng dan pentungan-pentungannya, yang satunya lagi cuma
bersenjatakan spanduk-spanduk maupun mikropon. Secara kasat mata pertempuran
tersebut terlihat sangat tidak setara.
Sepertinya
aksi demonstrasi terlihat begitu tabu di negara kita ini jika tidak terjadi
pertempuran dan berjatuhan banyak korban antara masa dengan aparat kepolisian.
Padahal negara kita adalah negara demokrasi. Dimana setiap warga negara berhak
menyampaikan aspirasinya. Tetapi seakan-akan masyarakat seperti dilarang
menyampaikan aspirasinya, karena selalu mendapat perlakuan dan perlawanan yang
tidak manusiawi oleh aparat yang mengamankan aksi demonstrasi. Bagaimana
demonstran tidak naik pitam, jika tindak pengamanan berubah menjadi tindak
penyerangan. Mungkin juga aksi perusakan fasilitas umum oleh demonstran dipicu
oleh kemarahannya oleh aparat yang beralih fungsi menjadi tindak penyerangan
kepada demonstran. Dapat dilihat bagaimana kekecewaan demonstran terhadap
polisi, yang berakibat mereka menjadi beringas dan melampiaskannya pada perusakan
pos-pos polisi. Sehingga terdengar isu-isu bahwMereka
Serang, Mereka Senang
Begitu
buruknya citra aparat kita dewasa ini, sehingga banyak masyarakat yang enggan
menyelesaikan masalah melalui polisi, maka timbullah kelompok-kelompok ormas
yang katanya mengambil alih fungsi aparat. Sejatinya, apabila aparat membiarkan
demonstran, lama-kelamaan demonstran yang semuanya manusia yang mempunyai
keterbatasan energi pastilah merasa capek, kemudian bubar dengan sendirinya.
Jikalau demonstran memblokir sebuah jalan utama, itu adalah suatu hal yang
wajar-wajar saja karena mereka ingin aspirasinya diperhatikan. Tak mungkin masa
berdemonstrasi di tengah hutan, lalu siapa yang akan mendengar aspirasi
mereka?.
Pembubaran
masa dengan alasan-alasan yang kurang masuk akal karena masa melakukan pemblokiran
jalan adalah suatu alasan konyol yang sering terdengar. Padahal negara kita negara demokrasi, kenapa
ketika ingin menyampaikan aspirasi malah dibubarkan. Negara kita juga memiliki
aparat yang bertugas sebagai pengatur lalu lintas. Jika terjadi pemblokiran
jalan oleh demonstran, lantas dimana peranan aparat pengatur lalu lintas
tersebut. Ada baiknya apabila membiarkan masa yang sedang berorasi dan
memblokir sebuah jalan itu dibiarkan, lama-kelamaan juga pasti merasa lelah dan
bubar dengan sendirinya. Tugas polisi lalu lintas untuk mengalihkan jalur untuk
sementara. Hal tersebut mungkin akan terjalin azas saling menghormati antara
demonstran dengan aparat kepolisian serta meminimalisasikan aksi bentrok antar
keduanya.
Tetapi
yang marak terlihat di televisi malah sebaliknya, dimana bentrok antar kedua
kubu tersebut sering memakan korban, baik korban luka-luka maupun korban yang
merenggut nyawa. Banyak bukti-bukti otentik bagaimana tindakan aparat yang
represif, dan dapat dimungkinkan karena aparat yang mengamankan aksi tersebut
mayoritas masih berdarah muda, sehingga mudah untuk terpancing emosinya oleh
mahasiswa. Tugas aparat adalah mengamankan aksi demonstrasi, tetapi jika aparat
yang masih berdarah muda tersebut sudah terpancing emosinya maka keadaan mulai
tidak kondusif, dan bentrokpun tidak dapat terelakkan. Tindak pengamanan
berubah menjadi seperti tindak penyerangan. Seakan-akan aparat yang masih
berdarah muda itu berkesempatan melampiaskan emosinya. Memang sangat ironis
akan hal itu, setidaknya POLRI beserta jajarannya segera mengevaluasi agar
tidak lagi timbul bentrok yang memakan korban dan berbuah kerusakan-kerusakan
fasilitas umum akibat penanganan aksi demonstrasi. Juga menjadikan kembali
citra aparat yang berwibawa, aparat yang melindungi dan mengayomi masyarakat,
aparat sebagai anggota masyarakat yang memasyarakat, serta aparat sebagai
manusia yang ‘manusia’ yang bertindak tidak harus menggunakan kekerasan..jpg)
