Selamat Datang di Tong Sampah

Bacalah Sebelum Coretan ini dihinggapi lalat

Selasa, 11 Desember 2012

Mereka Serang, Mereka Senang


Bastard
       Seperti suasana dikala tumbangnya rezim orde baru terulang kembali akhir maret kemarin. Dimana ribuan mahasiswa, ormas, dan berbagaimacam kelompok masyarakat turun ke jalan demi menyampaikan aspirasi mereka. Yaitu menuntut agar pemerintah tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak bersubsidi atau yang akrab disebut BBM pada tanggal 1 april 2012. Dari ujung Sabang sampai merauke ribuan masa berdemonstrasi menuntut kebijakan pemerintah tersebut. Yang kini hasilnya cukup memuaskan, 1 april 2012 harga BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikkan, tetapi selama enam bulan kedepan harga BBM tersebut mengikuti harga minyak mentah dunia. Jika harga minyak mentah dunia mengalami kenaikkan sebesar 15%, maka harga BBM bersubsidi tak dapat dipungkiri juga akan naik. Pernyataan tersebut adalah hasil dari sidang paripurna tanggal 30 maret 2012 yang penuh kericuhan ketika sidang berlangsung, sama halnya dengan begitu ricuhnya demonstrasi masa yang ada di luar gedung DPR.
            Pertempuran antara mahasiswa maupun ormas-ormas dengan aparat kepolisian merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Berjatuhan korbanpun terlihat wajib, baik dari kubu mahasiswa maupun aparat. Aparat yang bersemboyankan melindungi dan mengayomi masyarakat kini seperti terlihat memang sekedar semboyan belaka. Dapat kita lihat dari tindakan represif aparat kita ketika menangani demonstrasi. Banyak bukti otentik bahwa aparat kita ternyata hampir sama dengan preman maupun gengster yang beberapa waktu kemarin juga menjadi topik perbincangan di berbagai media masa. “Jangan main hakim sendiri”, begitulah ucapan-ucapan aparat ketika mendapati seorang pencuri yang tertangkap oleh warga.

            Lucunya jika ucapan yang sarat akan kewibawaan itu ternyata dilakukan sendiri oleh anggotanya ketika menangani berbagai demonstran. Lantas, siapa lagi yang akan mengucapkan “Jangan main hakim sendiri”?.

            Menyeret salah satu demonstran yang dianggap sebagai propokator, yang kemudian manjadikan orang tersebut seperti layaknya maling yang tertangkap oleh warga. Padahal belum tentu salah seorang yang sudah menjadi babak belur itu sebagai propokator. Terus bagaimana jika tindakan tersebut dilakukan sebaliknya oleh kubu demonstran?, pasti pelakunya akan dikenai hukuman yang cukup berat. Keadaan tersebut menjadikan masyarakat penonton berita kebingungan untuk mengetahui yang mana demonstran dan yang mana polisi, karena kedua kelompok tersebut terlihat sama-sama anarkisnya. Hanya saja yang satu berpakaian seragam lengkap dengan senjata-senjata ditangan maupun dengan tameng-tameng dan pentungan-pentungannya, yang satunya lagi cuma bersenjatakan spanduk-spanduk maupun mikropon. Secara kasat mata pertempuran tersebut terlihat sangat tidak setara.
Sepertinya aksi demonstrasi terlihat begitu tabu di negara kita ini jika tidak terjadi pertempuran dan berjatuhan banyak korban antara masa dengan aparat kepolisian. Padahal negara kita adalah negara demokrasi. Dimana setiap warga negara berhak menyampaikan aspirasinya. Tetapi seakan-akan masyarakat seperti dilarang menyampaikan aspirasinya, karena selalu mendapat perlakuan dan perlawanan yang tidak manusiawi oleh aparat yang mengamankan aksi demonstrasi. Bagaimana demonstran tidak naik pitam, jika tindak pengamanan berubah menjadi tindak penyerangan. Mungkin juga aksi perusakan fasilitas umum oleh demonstran dipicu oleh kemarahannya oleh aparat yang beralih fungsi menjadi tindak penyerangan kepada demonstran. Dapat dilihat bagaimana kekecewaan demonstran terhadap polisi, yang berakibat mereka menjadi beringas dan melampiaskannya pada perusakan pos-pos polisi. Sehingga terdengar isu-isu bahwMereka Serang, Mereka Senang


Begitu buruknya citra aparat kita dewasa ini, sehingga banyak masyarakat yang enggan menyelesaikan masalah melalui polisi, maka timbullah kelompok-kelompok ormas yang katanya mengambil alih fungsi aparat. Sejatinya, apabila aparat membiarkan demonstran, lama-kelamaan demonstran yang semuanya manusia yang mempunyai keterbatasan energi pastilah merasa capek, kemudian bubar dengan sendirinya. Jikalau demonstran memblokir sebuah jalan utama, itu adalah suatu hal yang wajar-wajar saja karena mereka ingin aspirasinya diperhatikan. Tak mungkin masa berdemonstrasi di tengah hutan, lalu siapa yang akan mendengar aspirasi mereka?.
Pembubaran masa dengan alasan-alasan yang kurang masuk akal karena masa melakukan pemblokiran jalan adalah suatu alasan konyol yang sering terdengar.  Padahal negara kita negara demokrasi, kenapa ketika ingin menyampaikan aspirasi malah dibubarkan. Negara kita juga memiliki aparat yang bertugas sebagai pengatur lalu lintas. Jika terjadi pemblokiran jalan oleh demonstran, lantas dimana peranan aparat pengatur lalu lintas tersebut. Ada baiknya apabila membiarkan masa yang sedang berorasi dan memblokir sebuah jalan itu dibiarkan, lama-kelamaan juga pasti merasa lelah dan bubar dengan sendirinya. Tugas polisi lalu lintas untuk mengalihkan jalur untuk sementara. Hal tersebut mungkin akan terjalin azas saling menghormati antara demonstran dengan aparat kepolisian serta meminimalisasikan aksi bentrok antar keduanya.

Tetapi yang marak terlihat di televisi malah sebaliknya, dimana bentrok antar kedua kubu tersebut sering memakan korban, baik korban luka-luka maupun korban yang merenggut nyawa. Banyak bukti-bukti otentik bagaimana tindakan aparat yang represif, dan dapat dimungkinkan karena aparat yang mengamankan aksi tersebut mayoritas masih berdarah muda, sehingga mudah untuk terpancing emosinya oleh mahasiswa. Tugas aparat adalah mengamankan aksi demonstrasi, tetapi jika aparat yang masih berdarah muda tersebut sudah terpancing emosinya maka keadaan mulai tidak kondusif, dan bentrokpun tidak dapat terelakkan. Tindak pengamanan berubah menjadi seperti tindak penyerangan. Seakan-akan aparat yang masih berdarah muda itu berkesempatan melampiaskan emosinya. Memang sangat ironis akan hal itu, setidaknya POLRI beserta jajarannya segera mengevaluasi agar tidak lagi timbul bentrok yang memakan korban dan berbuah kerusakan-kerusakan fasilitas umum akibat penanganan aksi demonstrasi. Juga menjadikan kembali citra aparat yang berwibawa, aparat yang melindungi dan mengayomi masyarakat, aparat sebagai anggota masyarakat yang memasyarakat, serta aparat sebagai manusia yang ‘manusia’ yang bertindak tidak harus menggunakan kekerasan.